[BANGKOK] Jumlah perokok di Indonesia menempati peringkat pertama di kawasan ASEAN, yakni 46,16 persen dari perkiraan total jumlah perokok di kawasan pada tahun 2007 sebanyak 125, 8 juta orang. Lemahnya peraturan pengendalian tembakau membuat jumlah perokok meningkat. Untuk itu, perlu diwaspadai gerakan agresif dari industri rokok menciptakan perokok baru, khususnya di kalangan generasi muda, yang antara lain dilakukan dengan iklan terselubung.
Hal tersebut mengemuka dalam ASEAN Regional Media Workshop on Tobacco Control yang diselenggarakan South East Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) pertama yang dibuka Minggu (2/12) di Bangkok, Thailand. Direktur SEATCA, Bungon Ritthiphakdee mengungkapkan, Filipina menempati posisi kedua setelah Indonesia, yakni sebanyak 16,62 persen, dan Vietnam di posisi ketiga sebesar 14,11 persen.
Jumlah perokok di ASEAN, khususnya perokok dewasa berkontribusi 10 persen terhadap jumlah perokok di seluruh dunia yang jumlahnya mencapai 1,25 miliar. Selain itu, kematian karena merokok di ASEAN berkontribusi ter- hadap 20 persen kematian karena rokok di dunia.
Ironisnya, beberapa negara tidak memiliki undang- undang untuk mengendalikan tembakau. Manajer Program Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau (FCTC) SEATCA, Ulysses Dorothea menyebut Indonesia satu-satunya anggota ASEAN yang tidak menanda- tangani dan tidak meratifikasi FCTC.
Menanggapi hal itu, Widyastuti Soerojo dari Tobacco Control Support Centre Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menyebut alasan politik membuat Indonesia tidak menandatangani dan tidak meratifikasi FCTC. Sekalipun tidak meratifikasi FCTC, masih ada kesempatan bagi Indonesia untuk mengaksesi FCTC itu.
Pada kesempatan itu Policy Development Advisor SEATCA, Mary Asunta secara tegas mengatakan, tidak ada kemauan politik dari Pemerintah Indonesia untuk mengendalikan tembakau. Ini antara lain terbukti dari tidak ditandatanganinya FCTC, dan sampai sekarang RUU Pengendalian Tembakau belum menjadi undang-undang.
Peraturan yang lemah tersebut, membuat industri rokok "merdeka", khususnya di Indonesia. Menurutnya, sejumlah industri rokok berupaya bekerja sama dengan pemerintah, bahkan dengan lembaga swadaya masyarakat. Kerja sama itu dengan menjadi sponsor kegiatan corporate social responsibility (CSR), sehingga seolah-olah membantu orang miskin di sekitar perkebunan tembakau.
"Apa yang dilakukan industri rokok itu adalah kosmetik, hanya artifisial," tegasnya.
Sumber : Suara Pembaruan